Khadijah Binti Khuwailid lahir pada kira-kira 15 tahun sebelum tahun
gajah. Ia berasal dari kalangan bangsawan Quraisy dan nasabnya sangat
terjaga. Ia besar di kalangan keluarga yang memiliki pencarian hidup
sebagai pedagang besar. Maka tak heran jika sejak kecil ia belajar
bagaimana cara berbisnis yang baik dan menguntungkan namun tidak
melanggar norma dan etika bisnis yang lurus.
Khadijah tumbuh menjadi bunga Quraisy yang cantik dan cerdas.
Kebaikan budi pekertinya yang mulia pun terkenal ke seluruh pelosok
negeri. Banyak pemuda yang ingin menyunting untuk menjadikannya
pendamping hidup. Tercatat, ‘Atiq bin ‘Ahid dan Abu Halah pernah
menikahi Khadijah. Tetapi setelah suami terakhirnya meninggal dunia pula
di tengah perjalanan hidup pernikahan mereka, Khadijah sempat tidak
berminat untuk menikah lagi. Ia memilih mengkonsentrasikan hidupnya
untuk membesarkan dan mengurus anak-anak serta bisnisnya yang semakin
berkembang.
Selain harta peninggalan dari orangtua yang diwarisinya, peninggalan
harta dari para suaminya pun sangat banyak. Karena itulah Khadijah
menjadi pebisnis yang sibuk mengelola dan mengembangkan usaha-usahanya
yang sudah meluas hingga keluar negeri Makkah.
Sebagai perempuan yang dikenal terjaga akhlak mulianya, sehingga
dijuluki sebagai At-Thahiroh-wanita yang suci, Khadijah sangat
berhati-hati dalam berbisnis. Ia membangun jaringan bisnisnya dengan
modal kepercayaan. Akhlak yang luhur dalam berbisnis ini nyatanya sangat
membantunya dalam mengembangkan relasi kerja.
Selain bersikap baik pada relasi bisnisnya, Khadijah pun peduli pada
para pekerjanya. Ia sangat memperhatikan kesejahteraan mereka. Dalam hal
ini Khadijah menerapkan sistem bagi hasil pada orang-orang yang
menjualkan barangnya. Keuntungan yang diperoleh dari hasil berdagangnya
dibagi sesuai andil masing-masing, hingga kedua belah pihak merasa puas
dengan sistem ini. Akhirnya, usaha Khadijah semakin berkembang, dan
pekerjanya semakin banyak.
Salah satu karyawan yang bekerja menjualkan barang dagangan Khadijah
adalah Muhammad bin Abdullah. Sejak awal Muhammad sudah dikenal dengan
julukan Al-Amin-yang dapat dipercaya, sehingga ketika ia membawa barang
dagangan Khadijah pun ia menjadi salah satu karyawan yang sangat
terpercaya. Setiap kali Muhammad membawa barang dagangan Khadijah ke
luar kota, ia pasti pulang membawa hasil yang memuaskan.
Kemampuan bisnis Muhammad yang bagus, juga ahlaknya yang mulia
membuat hati Khadijah tertarik. Meskipun Khadijah menolak pinangan yang
sebelumnya banyak diajukan para petinggi Quraisy, hatinya tidak bisa
menolak keinginan untuk meminang sang Al Amin. Keinginannya ini pun ia
sampaikan pada orang kepercayaannya, Nafisah. Orang kepercayaannya
inilah yang kemudian menjadi penghubung pernikahan Khadijah dengan
Muhammad.
Kebahagiaan Khadijah menikah dengan Muhammad semakin lengkap dengan
hadirnya putera puteri yang meramaikan suasana rumah mereka. Muhammad
pun menjadi ayah bagi anak-anak, suami dan partner bisnis yang sempurna
bagi kehidupan Khadijah.
Setelah pernikahan dengan Khadijah, Muhammad diangkat menjadi nabi
dan rasul penutup. Misi suci ini membuat Rasulullah SAW banyak
meninggalkan rumah untuk berdakwah. Otomastis, perannya dalam bisnis pun
berkurang. Sebagai istri, Khadijah memahami ini dan mengambil alih
seluruh roda perputaran bisnis tersebut, ia tak segan-segan mengeluarkan
hartanya untuk membantu penyebaran islam. Sejarah kemudian mencatatnya
sebagai penyokong dana dakwah terbesar sepanjang zaman.
(Jumi/ummahonline)
sumber : islamkarir.wordpress.com
sumber : islamkarir.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar